Rumah adalah kebutuhan dasar yang harus terpenuhi. Pangan, sandang, dan papan. Begitulah ungkapan yang sering kita dengar. Meski termasuk kebutuhan dasar alias kebutuhan primer, membeli rumah tampaknya tak terjangkau bagi generasi milenial.
Banyak tulisan yang mengulas bahwa sebagian besar generasi milenial akan sulit memiliki rumah. Penyebab utamanya adalah biaya. Semakin hari harga rumah dan tanah semakin mahal, sementara penghasilan generasi milenial sulit mengimbanginya.
Untuk itu, bank banyak yang memberikan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sebagai sumber pembiayaan utama.
Survei Harga Properti Residensial oleh Bank Indonesia menyatakan indeks harga properti hunian pada kuartal II-2020 sebesar 1,59% sevara tahunan (year-on-year/YoY). Angka ini terus meningkat sejak 2012.
Pada kuartal II-2020, sebanyak 78,41% konsumen membeli rumah melalui KPR, sebanyak 16,22% konsumen membeli rumah secara tunai bertahap, dan sebanyak 5,37% konsumen yang mampu membeli benar-benar secara tunai.
Di sisi lain, bunga KPR sangat tinggi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat rerata suku bunga KPR sebesar 8,5% per tahun per Agustus 2020. Di 2019, bunga KPR lebih tinggi sebesar 18 basis poin (bps).
Untuk lebih memahami situasi, ambillah contoh. Rendy membeli rumah sebesar Rp500 juta dengan suku bunga tetap (flat) sebesar 8,5% selama 20 tahun. Maka, Rendy harus membayar dua kali lipat lebih mahal, yaitu Rp 1.041.387.880. Kesimpulannya, bunga KPR jauh lebih mahal dibandingkan harga rumah itu sendiri.
Lagipula, bunga KPR di Indonesia juga termasuk paling tinggi dibandingkan negara ASEAN lain. Sebut saja Singapura, rerata suku bunga dengan tenor 10 tahun di 10 bank terbesar adalah 2,84% per tahun. Suku bunga KPR di Government Housing Bank Thailand sebesar 6,15% per tahun.
Foto: Pixabay
Comments