Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan omnibus law RUU Cipta Kerja menjadi Undang-undang (UU) melalui Rapat Paripurna, Senin (5/10/2020).
Dalam UU Cipta Kerja (Ciptaker), pemerintah membentuk bank tanah beserta badannya yang tercantum dalam Pasal 125 hingga Pasal 135 UU Ciptaker.
Menanggapi hal itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Sofyan A Djalil mengatakan bank tanah berfungsi supaya negara memiliki dan menguasai tanah melalui Kementerian ATR/BPN.
Menurut Sofyan, seharusnya Kementerian ATR/BPN mempunyai dua fungsi, yaitu pengatur pertanahan (land regulator) dan pengelola tanah (land manager).
Pengatur pertanahan bertugas mengatur hak milik dan memberikan sertifikat hak atas tanah. Sedangkan pengelola tanah (bank tanah) bertugas mengelola, menampung, dan mendistribusikan tanah untuk kepentingan umum dan Reforma Agraria atas nama negara.
"Bank tanah ini memungkinkan kita, negara, memberikan tanah untuk rumah rakyat di perkotaan dengan harga yang sangat murah bahkan gratis," kata Sofyan, dikutip Sabtu (17/10/2020).
Bank tanah bisa mendapat tanah melalui Hak Guna Usaha (HGU) terlantar atau tak diperpanjang yang diambil oleh pemerintah dan dibagikan kepada masyarakat.
Di sisi lain, UU Ciptaker mengenai pertanahan mendapat kontra dari Pengamat Hukum Pertanahan dari Lembaga Advokasi Konsumen Properti Indonesia (LAKPI), Erwin Kallo.
Ia memandang wacana bank tanah dalam konteks kepentingan perkebunan dan pertanian dapat diterapkan. Alasannya, lahan untuk dua kepentingan ini masih luas dan tersebar di wilayah yang tak padat penduduk.
Namun, penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) akan menghadapi banyak kendala. Perolehannya berpotensi menjadi kontraproduktif.
"Untuk perkebunan dan pertanian, masih oke. Tapi, untuk penyediaan perumahan, tidak masuk akal, karena tanah Negara yang akan dimanfaatkan pasti posisinya di perkotaan. Dan itu tidak bebas alias ada yang menguasai," kata Erwin, dikutip Sabtu (17/10/2020).
Selanjutnya, ia engatakan pengadaan tanah untuk perumahan harus melalui pendekatan politis, yaitu kebijakan politik anggaran. Alasannya, pemerintah tak bisa sembarangan mengambil atau membebaskan lahan di perkotaan walaupun status tanahnya milik Negara.
"Jika kemudian Pemerintah mulai mengeksekusi perolehan lahan, maka itu artinya harus keluar ongkos. Terlebih goal-nya adalah supaya MBR memiliki rumah. Tentunya ini ada harganya, tidak gratis," terang Erwin.
(Al-Hanaan)
Foto: Lifepal
Comments