Di masa pandemi Covid-19, dunia industri mengalami disrupsi. Jika tak bisa beradaptasi, indjustri akan punah, termasuk industri perbankan.
Dulu, Bank Rakyat Indonesia (BRI) dikenal sebagai bank kaum miskin, bank kaum pinggir, dan bank desa. Sekarang, BRI dikenal sebagai bank terdepan dengan aset terbesar di Indonesia. Total asetnya mencapai Rp1387 triliun per September 2020.
Apa transformasi yang dilakukan oleh BRI? Apakah BRI go cloud untuk bisa menjadi digital? Jawabannya adalah iya.
New Normal dan Industri Perbankan
Kita tengah memasuki era new normal, namun new normal belum finish. Dikatakan new normal karena kita tak akan kembali normal seperti sebelum pandemi Covid-19. Tentu, era kenormalan baru nanti akan hybrid. Kita mengambil hal baik dari masa lalu dan masa sekarang.
"Akselerasi digital akan dipecepat dan kita dipaksa untuk berubah baik secara digital maupun culture," ungkap Indra Utoyo, Managing Director of Digital, IT & Operation of BRI dalam webinar ThinkTech 2020: How Banks Should be Thinking about The Cloud? yang diselenggarakan oleh KADIN, dikutip Minggu (18/10/2020).
Dalam kesempatan itu, Indra menjelaskan mengenai contactless society yang akan menjadi masa depan kita. Ia memandang momen ini sebagai momen transformasi besar (great transformation) di mana teknologi semakin intense. Kita akan mengadopsi teknologi semakin dalam dan luas dalam berbagai aktivitas kehidupan.
"Virtual interaction menjadi culture baru yang tak pernah terbayang. Pondasinya menjadi digital," tutur Indra Utoyo, penulis buku Silicon Valley Mindset (2016).
Paradigma baru ini tak hanya berlaku di industri tetapi juga di pemerintahan. Bagaimana pemerintah melayani masyarakat di era kenormalan baru.
Di sisi lain, pemerintah juga masih harus memulihkan ekonomi sembari menekan angka penularan Covid-19. Untuk itu, transformasi digital harus dipercepat.
Model Perbankan Sebelum dan Sesudah Pandemi Covid-19
Dalam industri perbankan, kita makin getting connected dan mengalami kolaborasi multi industri. Bank menjadi open banking dan kendali berada di tangan nasabah (customer).
"Kita masuk ke era collaborative economy di mana kita getting connected dan bank sendiri sudah geser. Kalau dulu centricnya di brands. Brand centric di mana layanananya lebih close, manage nya juga lebih sederhana, dan channel utamanya cabang. Ada juga mobile banking tentu dengan menu yang sederhana melalui e-channel lainnya seperti ATM dan EDC," jelas Indra.
"Dulu bank connect dg uitlity seperti telekomunikasi, PLN, air, dan pendidikan. skg bank connect dg partner2 baru seperti e-commerce, fintech, fintech payment, ride sharing, travel site," tambah Indra.
Indra memandang itu ada plus dan minus. Dengan digitalisasi perbankan, perbankan membuat inovasi yang mempesona. Namun, ada hal yang menakutkan seperti penipuan online (online fraud) dan kejahatan maya (cyber crime) yang semakin marak akibat go digital.
Oleh sebab itu, aspek governance dan risk management harus disesuaikan di era digital. Bagaimana kita mengelola dan melakukan mitigasi risiko secara efektif dengan teknologi dan kolaborasi secara industri.
"Bagi bank, tentu ini juga satu sisi ini adalah opportunity. Di sisi lain, ini adalah sebuah risiko baru karena connect dengan ekosistem yg banyak pemainnya," ungkap peraih BUMN Innovation figure 2017.
Startup Sebagai Pemain Baru: Kawan atau Lawan?
Inilah gelombang disrupsi. Suka tak suka, industri perbankan harus bersaing dengan pemain baru yang semula hanyalah pemain pelengkap (komplementer). Pemain baru (emerging digital players) datang dari perusahaan rintisan (startup) yang sekarang menjadi unicorn dan decacorn. Mereka datang menggunakan teknologi terdepan, termasuk cloud technology.
"Awalnya mono line tiba-tiba menjadi multi line, termasuk layanan keuangan (financial services). Tiba-tiba financial services lengkap juga. Akhirnya compete dengan bank. Bagi customer, siapa yang bisa create value itu akan jd pilihan," jelas Indra.
Seperti yang kita rasakan, akselerasi digital sangat terasa di tengah pandemi Covid-19. Adopsi online banking dan mobile banking tumbuh luar biasa hanya dalam beberapa bulan terakhir. Penarikan uang di ATM berkurang demi menghindari kontak fisik. Bahkan, yang datang ke kantor cabang bank pun jauh berkurang.
3 Pilar Framework BRI Hadapi New Normal
Lalu, bagaimana BRI mengadaptasi kenormalan baru (new normal)? Indra menjelaskan framework BRI yang terdiri atas tiga pilar, yaitu orang (people), produk bisnis, dan IT.
"Bagaimana kita memastikan kesehatan dan keselamatan pekerja dan nasabah? Bagaimana kita bisa mengadopsi flexi working dan membangun kolaborasi dengan pekerja yang lebih produktif menggunakan tools? Bagaimana productivity monitoring system menjadi makin penting sehingga karyawan bisa bekerja dari manapun dan tetap produktif? Disiplinnya kepada strategi dan outcome, bukan lagi sekadar kehadiran fisik di kantor," papar Indra.
"Di aspek produk bisnis dan operasi juga harus ada rethinking dan recrafting bahkan beberapa produk digital harus direview lagi supaya lebih validated dan kontekstual terhadap fenomena new normal. Beberapa juga harus di-recrafting lagi agar lebih fit (cocok) sehingga bisa memberi solusi kepada customer," sambung Indra.
"Yang ketiga adalah IT. IT menjadi andalan dan kebutuhan kaspitas meningkat luar biasa termasuk bandwidth,"
Mengenai IT, Indra menekankan pentingnya reliability karena keamanan IT adalah isu yang serius. Selain itu, resilience harus bisa diberikan dan enablement untuk memberikan fitur baru supaya karyawan lebih produktif.
Pola ancaman dan modus operandi juga makin berkembang baik dalam jumlah maupun volume. Untuk itu, manajemen risiko (risk management) harus menjadi perhatian utama untuk memastikan risiliensi kepada nasabah.
Ledakan Transaksi Online dan Lalu Lintas Internet Selama Pandemi
Kebijakan pembatasan sosial dan gaya hidup stay at home selama pandemi Covid-19 membuat transaksi online meningkat. Penggunaan bandwidth selama pandemi mencapai 165% dan akan terus bertambah.
Indra menunjukkan gambar yang menunjukkan nasabah yang datang ke cabang makin tipis dan semakin banyak yang mengakses e-channel.
"Kita lihat mobile banking trus kita perkaya dan improve, pertumbuhan jg luar biasa. dalam periode yang setahun ini, naiknya hampir 1000%. pertumbuhan user luar biasa sebesar 260% dalam setahun," papar peraih 2nd Best CIO50 ASEAN 2019 dari IDG.
Mengingat modus operandi para penjahat siber semakin lihai, pelaku industri perbankan harus semakin waspada dan bekerja dengan teknologi. Pelaku industri perbankan harus bisa memberikan keamanan siber agar pelayanan perbankan tetap terpercaya.
"Kita harus melakukan kolaborasi industri karena mereka juga invest di teknologi dan berkembang terus. Kalau kita gak belajar dan improve our technology, bagaimana kita melawan ancaman ini," tandas Indra.
Untuk menghadapi hal ini, Indra mengungkapkan ada tiga tantangan transformasi digital BRI., yaitu culture, resources, dan talent.
"Pertama, culture. Culture di era digital berbeda, mindset berubah harus customer-centric. Bekerja secara kolaboratif dan melakukan validasi terhadap solusi kita yang terus di-adapt terhadap dinamika dengan customer," ungkap peraih CIO Executive Dream Team dari Majalah Fortune Indonesia (2011).
"Kedua, resources. Bank tua seperti BRI berusia 125 tahun. Banyak resources yang legacy, yang tua-tua termasuk di IT. Ini challenging bagaimana kita mentransformasi dan meng-upgrade menjadi infrastruktur yang fleksibel, adaptable, dan highly configurable untuk men-support berbagai manuver dari bisnis di depan," sambung Indra.
"Ketiga, talent. Kita perlu new competence. Kita bicara ttg data analytics, cloud, cyber security adalah skill baru yg harus di-acquire di company yang tak seluruhnya bisa didapat dari dalam. Kita harus mix antara traditional atau organik dan new talents dari luar untuk bisa menumbuhkan competence yang dibutuhkan di era digital," tandas Indra.
5 DNA dalam Transformasi Digital BRI
Untuk bisa melakukan transformasi digital, BRI melakukan investasi di lima hal yang dinaungi oleh tiga tantangan transformasi digital, yaitu culture, resource, dan talent. Tujuannya adalah membrikan value terbaik bagi customer secara digital.
"Di talent bagaimana kita bs membangun talent yg customer centric dilengkapi deangan feature competence. bicara desain thinking, lean, cloud, analytic. Itulah kompetensi baru yang harus di-adopt bagi talent kita di era digital," jelas Indra.
"Kemudian di sisi resource, resource legacy ini harus dirubuhkan. Yang tadinya monolitik menjadi environment yang skillable, adaptable, dan reliable untuk mensupport manuver bisnis," tambah Indra.
Mantra era digital adalah kecepatan (speed), bukan yang besar. Bagaimana bisa memenuhi kebutuhan nasbah dengan kolaborasi. Inilah era collaborative economy.
Pastinya, BRI hanya akan fokus pada kekuatan karena memang tak menonjol dalam segala hal. Itulah gunanya kolaborasi. Bekerja sama dengan partner terbaik untuk menghubungkan kekuatan diri dengan kekuatan partner.
"Open innovation ecosystem menjadi penting untuk bisa connect dengan partner-partner baru. Kita tidak pretend bagus dalam segala hal. Kita fokus [pada] apa yg kita kuat. Front end nya bisa siapa saja. Seperti sekarang buka tabungan BRI bisa di Grab, Tokopedia. Gak harus di BRI," tandas Indra.
"Jadi kita memberikan berbagai macam opsi dan value dan solusi bagi customer. dengan demikian bs massive collaboration dg partner2 baru melalui open API," tambah Indra.
Dalam melakukan transformasi digital, kreativitas dan kecepatan dalam berpikir harus tinggi. Untuk dapat bekerja dengan cekatan (agile) harus dilakukan melalui eksperimen dan bagaimana memadukan antara dynamic dengan stability.
Inilah tantangan industri perbankan agar tetap bisa melakukan eksplorasi secara cekatan dan stabil sebagai sebuah perusahaan. Inilah agile way of working yang harus dibangun sebagai culture.
"Di sisi culture, dunia digital sangat menggantungkan pada analytic. Karena kita perlu mengambil keputusan yang baik, cepat, kontekstual, relevan, dan data driven berbasis big data dan data driven decision. Ini makin penting bagi BRI untuk menjadi data driven organization," jelas Indra.
Layanan Perbankan dari Arsitektur Monolitik ke Arsitektur Mikroservis
"Terkait resource, dulu bank itu monolitik. satu layanan dalam satu aplikasi. sekarang harus dibangun dalam bentuk rak2. ada rak atas, rak tengah, ada rak bawah," ujar Indra.
Selanjutnya, Indra menjelaskan mengenai middleware. Bagaimana yang atas seperti mobile and web applications dan branch and call center bermanfaat dengan cepat melalui middleware. Dalam hal ini, middleware menjadi orchestrator dan nanti bergeser menjadi microservices.
"Jadi kita di orchestrator ini akan menjahit agar micorservices bisa menghasilkan produk yg nanti dibuat secara kontekstual menjawab kebutuhan customer dr waktu ke waktu," tambah Indra.
"Di sisi infrastruktur, kita sudah mobile centric dan semua orang bs connect dengan kita. Maka, demand untuk kebutuhan capacity dan processing berkembang dengan cepat. Makanya, teknologi cloud, virtualisasi, dan dynamic routing harus disiapkan agar lebih adaptable dengan kebutuhan yang dinamis," imbuh Indra.
Peran Cloud dalam Perbankan: Partnership Agility & Customer Agility
Untuk merancang portfolio infrastruktur, Indra menerangkan pihaknya melakukan berdasarkan metric complexity dan value.
"Yang masih sangat complex dan value tinggi masih berat dilakukan on premises. Tapi yang tak terlalu complex, bisa dengan cepat bisa menggunakan cloud. Sementara yang simple dan value yang tak terlalu tinggi dan complex, kita lakukan fully outsource," terang Indra.
Pertanyaannya, bagaimana cloud bisa mengubah bank? Bank seharusnya beradaptasi dalam operasi dan merespons perubahan dengan fleksibel.
Maka dari itu, ada dua pilar. Pertama, bagaimana melakukan partnership secara cekatan (agile)? Kedua, bagaimana melayani nasabah secara cekatan?
"Dari partnership ini, bagaimana kita men-support melalui open banking, open API. Kita bisa membangun massive collaboration secara cepat, secure, massive melalui open API. Dan bagi customer agility, kita bisa cepat merespons dan melakukan validasi dengan layanan baru di bank dan melakukan literasi untuk memjawab kebutuhan customer dengan cepat," tandas Indra.
Meski cloud sangat dibutuhkan di industri perbankan, Indra menerangkan kondisi ideal (ideal state) industri keuangan seperti BRI tetap ada lingkungan yang masih non cloud. Misalnya, core banking masing menggunakan mainframe.
"Ada juga yang harus agile virtualisasi. Menu private cloud dilakukan on premise, dan sebagian lagi 30% kami tempatkan di public cloud," terang Indra.
Cloud Fasilitasi Pelaku UMKM Agar Produktif Selama Pandemi
Open API memungkinkan BRI membangun partnership agility yang cepat, tepat, aman, dan masif.
"Dulu, untuk konek ke BRI dua bulan, sekarang hanya 1 jam. Bisa lakukan testing dan bisa connect dengan cepat termasuk dengan partner digital seprti fintech, digital ecosystem, ecommerce, dan sebagainya," tutur Indra.
Selain itu, value BRI di API mencapai Rp30 T dan tentunya menggunakan pendekatan cloud untuk partnership agility.
Sesuai dengan asal usulnya, BRI merupakan bank mikro yang melayani orang kecil. Untuk customer agility, Indra memandang penting bagaimana membuat pelaku UMKM semakin produktif di tengah pandemi.
"Kalau mereka tak produktif, ekonomi akan resesi," ucap Indra.
Di era kenormalan baru, hampir semua hal harus dilakukan jarak jauh. Pun BRI yang mengadopsi remote everything dan memastikan pelaku UMKM tetap produktif. Termasuk, bagaimana caranya mendukung social commerce bagi pedagang pasar agar bisa melayani kebutuhan sehari-hari untuk diantar ke rumah pelanggan.
"Kita bantu dengan platform digital dan ini ditempatkan di cloud. Jadi, para merchant bisa membangun untuk order ke pedagang bisa menggunakan social media kemudian direspon dan dan diantar kurir ke rumah," papar Indra.
"Kami sudah melayani hampir 4.400 traditional market dan hampir 53 ribu pedagang yang diharapkan mereka bisa produkti. Bahkan, me-mix yang digital dan beberapa masih human touch. Penting membuat segmen mikro tetap produktif dengan menggunakan digital. Dan teknologi cloud sangat mendukung di sini," pungkas Indra.
(Al-Hanaan)
Foto: Tangkapan Layar YouTube KADIN
Comentarios