Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) dan pemerintah kembali membahas Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker) mengenai klaster ketenagakerjaan, Sabtu (26/9/2020).
Klaster ketenagakerjaan yang dibahas adalah penghapusan Pasal 59 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal tersebut mengatur tentang aturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) terhadap pekerja kontrak.
Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Elen Setiadi mengatakan ada beberapa pekerjaan memang harus kontrak.
Untuk itu, harus ada kompensasi berupa penambahan dharma waktu. Kompensasi ini ibarat pesangon bagi pekerja tetap.
"Harus ada kompensasi, ini yang kami sampaikan ada penambahan dharma waktu, berikan kompensasi selama dengan masa kerjanya. Kalau dia tetap ada pesangon, kerja tertentu ini kayak pesangon," kata Elen.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi PPP, Syamsurizal mengatakan Pasal 59 berisi peluang kerja yang berserakan pada dimensi yang berbeda. Ia berargumen banyaknya pengangguran bisa menjadi kesempatan bagi mereka untuk bekerja.
"Sangat sayang sekali pasal ini dihapus, pasal ini tetap ada, kemudian sudah ada rencana penyiapan kompensasinya perlindungan para pekerja. Hanya saja ini perlu rincian tambahan lewat peraturan pemerintah," jelas Syamsurizal.
Senada dengan Syamsurizal, anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Golkar, John Kennedy tak setuju dengan penghapusan Pasal 59 UU 13/2003. Pasal ini melindungi PKWT yang menjadi dasar perjanjian antara pengusaha dan pekerja.
"Menurut hemat saya lebih kuat pengusaha dan pekerja tidak benar juga kalau tidak ada ketentuan yang atur PKWT. Bahwa total pekerja ada 132 juta orang dari 132 juta pekerja formal 30 juta dan pekerja informal 100 juta. Total pekerja di bawah serikat buruh ada 33,2 juta kita berada di semua, kita melindungi semua," terang John.
Menanggapi hal itu, Elen mengusulkan Pasal 59 tetap ada dengan nominal waktu yang diatur dalam peraturan pemerintah (PP). Ayat 1 dengan kriteria A, B, C, dan D akan ditambah norma baru jenis pekerjaan yang diatur oleh pemerintah.
"Kemudian pengaturan lebih lanjut Pasal 59 ayat 1 sampai ayat 8 direkonstruksi diatur lebih lanjut dengan PP," tutur Elen.
Pembahasan ini sempat alot mengingat Panitia Kerja RUU Ciptaker menanyakan relevansi urgensi klaster ketenagakerjaan dalam RUU Ciptaker.
"Kami menanyakan apa problem hukum sehingga perlu dilakukan revisi UU Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja. Kalau berbicara dalam kemudahan berusaha, kemudahan berinvestasi, di mana letak titik singgung keberadaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan kita," ujar Willy Aditya, Wakil Ketua Baleg DPR.
Pemerintah mengatakan saat ini situasi tak menentu karena revolusi industri 40 menciptakan fleksibilitas di berbagai sektor.
"Dulu angkutan umum ramai bahkan ada bus antar kota, tapi sekarang semua menggunakan travel, sehingga terjadi fleksibilitas yang luar biasa. Begitu juga di sektor ketenagakerjaan, bagaimana kita merespon situasi ini. Di sisi lain kita menghadapi bonus demografi yang menyebabkan banyak angkatan kerja kita yang belum tertampung. Kerangka ini yang sedang kita formulasikan," ungkap Willy, dinukil dari laman resmi DPR, Minggu (27/9/2020).
Sebagai informasi, ada tujuh substansi perubahan UU Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja, yaitu waktu kerja, Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Pekerja Kontrak (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu/PKWT), Alih Daya (outsourcing), perubahan dalam Upah Minimum (UM), pesangon PHK, serta Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). (Al-Hanaan)
Foto: Akbar Nugroho Gumay - Antara
Comments