Sikap & Kajian Lengkap MUI Soal RUU Omnibus Law Cipta Kerja
- MyCity News
- Jul 8, 2020
- 3 min read

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengkaji Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang saat ini sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). MUI pun menyatakan sikapnya atas UU yang saat ini menjadi polemik tersebut.
"Setelah membaca dan mempelajari RUU Cipta Kerja, dapat dipahami bahwa terdapat arah perubahan mendasar," ucap Sekjen MUI, Anwar Abbas, dalam rilis MUI, Rabu (8/7).
Baca Juga:
Ada 13 hal penting dalam RUU Ciptaker yang harus dipahami, sebagai berikut:
1. Perubahan delegasi kewenangan dari yang sebelumnya kepada menteri dan pemerintah daerah, menjadi kewenangan pemerintah pusat dengan konsekuensi mengubah kewenangan delegasi mengatur yang sebelumnya berbentuk Peraturan Menteri (Permen), Peraturan Daerah (Perda) menjadi Peraturan Pemerintah (PP);
2. Menghapus beberapa izin yang berlapis dan rekomendasi menjadi Perizinan Berusaha serta penyediaan alternatif sebagai syarat berusaha;
3. Menghapus norma yang pelaksanaannya adalah menteri;
4. Membuka kesempatan pelibatan Tenaga Kerja Asing (TKA);
5. Melibatkan pihak ketiga dalam beberapa sistem pengawasan yang sebelumnya dilakukan oleh kementerian dan/atau pemerintah daerah;
6. Perubahan paradigma dan orientasi usaha menjadi lebih terbuka pada investasi;
7. Penyeragaman bentuk perizinan dan penerapan perizinan berbasis risiko;
8. Penegasan fungsi pemerintah pusat dalam penerbitan perizinan, sertifikat dan surat persetujuan;
9. Penghilangan kewenangan DPR di beberapa bidang yang sebelumnya berfungsi sebagai persetujuan berubah menjadi konsultasi;
10. Penyelarasan Penjelasan Undang-Undang yang menyesuaikan konsep perizinan berbasis risiko;
11. Penyederhanaan secara ekstrem administrasi pemerintahan yang berakibat pada sistem perizinan yang tidak memberikan kepastian hukum;
12. Sebelumnya Sanksi Pidana menjadi Sanksi Administrasi (dekriminalisasi);
13. Pasal 170 RUU Cipta Kerja berpotensi melampaui kewenangan dan bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan.
Masalah dan Mudarat RUU Cipta Kerja
Dari temuan itu, MUI menilai ada maslahat (kebaikan/manfaat) dan mudarat (keburukan/kerugian) dalam RUU Ciptaker. Berikut maslahat RUU yang memuat 1.028 halaman tersebut:
1. Fleksibilitas dan efisiensi birokrasi pemerintah pusat dalam menyelesaikan permasalahan dan penyesuaian keadaan dan tantangan yang dihadapi;
Meningkatkan potensi penyerapan tenaga kerja dan penciptaan lapangan kerja baru;
2. Penyederhanaan kewenangan menteri yang atributif menurut Undang-Undang terdampak oleh RUU Cipta Kerja yang akan berakibat menurunnya jumlah peraturan menteri yang saat ini dipersoalkan sebagai sumber kelebihan regulasi;
3. Pemangkasan izin yang masif dalam RUU Cipta Kerja membawa perubahan semakin mudah dan murahnya dalam berinvestasi di sektor yang terdampak sebelum hadirnya RUU Cipta Kerja;
4. Memberikan kepastian hukum khususnya dalam proses pengurusan perizinan berusaha, dibandingkan dengan konsep yang dianut Undang-Undang terdampak sebelumnya;
5. Kepastian hukum perlindungan hak masyarakat adat atas tanah ulayatg. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam sektor-sektor usaha yang ditentukan
Sementara itu, berikut mudarat dari RUU Ciptaker:
1. Penarikan kewenangan mengatur menjadi harus berdasarkan delegasi Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) akan justru berpotensi mendapat penolakan/resistensi dikarenakan mengurangi fleksibilitas daerah dalam berinovasi;
2. Potensi penurunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dikarenakan pemangkasan kewenangan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan kewenangan yang seharusnya diotonomikan;
3. Beban yang berlebihan pada Peraturan Pemerintah (PP) dalam mengatur teknis operasional RUU Cipta Kerja;
4. Terdapat beberapa norma yang berpotensi diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) dikarenakan oleh perubahan paradigma yang secara diametral bertentangan dengan konstitusi;
5. Tidak semua tindakan pemerintahan yang tidak berkaitan dengan perizinan harus menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, melainkan tetap saja menjadi kewenangan menteri, mengingat jabatan Menteri adalah Pejabat Eksekutif tertinggi di bidangnya. (Arie Nugroho)
Comentarios