Pandemi Covid-19 memberlakukan aturan pembatasan sosial untuk menekan penularan Covid-19. Aktivitas ekonomi menjadi lambat, banyak pekerja dirumahkan, dan pendapatan masyarakat menurun.
Maka dari itu, pembatasan sosial dan resesi membuat orang menahan diri untuk plesiran. Alhasil, jumlah penerbangan menurun drastis dan maskapai penerbangan kesulitan membayar sewa pesawat.
Baca Juga: Kamis (1/10/2020), Kasus Positif Covid-19 Bertambah 4.174, Sembuh 3.540, Meninggal Dunia 116
Hal inilah yang juga dialami oleh maskapai penerbangan Indonesia. Maskapai penerbangan di Indonesia dituntut ke ranah hukum oleh perusahaan persewaan pesawat (lessor) dan terancam pailit. Di sisi lain, lessor juga mengalami hal serupa.
"Lessor di dunia pun juga lagi ada masalah juga. Jadi ini jadi dispute, karena di perjanjian sewa atau lease agreement tidak ada klausul kahar atau force majeure," kata Bayu Sutanto, Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carriers Association, dikutip dari CNBC Indonesia, Kamis (10/1/2020).
Bayu mengungkapkan pentingnya wacana regulasi perdata internasional tentang kerjasama antara maskapai dan lessor. Sayang, hukum perdata di Indonesia belum memadai untuk mengakomodasi kasus yang dialami maskapai Indonesia di masa pandemi.
"Kebetulan di Indonesia ini hukum perdatanya kan masih ketinggalan menggunakan kitab undang-undang hukum dagang tahun 1800-an dan perdata internasional juga belum diatur. Waktu itu sempat kita diskusikan dengan Kemenkumham mengenai rencana membuat draf undang-undang perdata internasional," jelas Bayu.
Jika maskapai kesulitan membayar uang sewa, lessor meminta maskapai mengistirahatkan pesawat (grounded). Jika tak berhasil, maskapai dituntut ke pengadilan. Namun, itu semua tergantung negosiasi kedua belah pihak.
"Yang normatif tentu negosiasi dengan pihak lessor. Memohon untuk penundaan atau restrukturisasi utang. Karena dari perjanjian itu, karena tidak dibayar akhirnya menjadi utang, secara perdata seperti itu," jelas Bayu. (Al-Hanaan)
Foto: Reuters
Comentarios