Indeks Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business/EoDB) Indonesia periode 2019-2020 berada di urutan ke-73. Urutan ini masih tinggi dibandingkan target yang direncanakan, yaitu peringkat 40.
EoDB disusun oleh Bank Dunia yang menyajikan hasil untuk dua ukuran agregat, yaitu skor kemudahan berbisnis dan peringkat kemudahan melakukan bisnis.
Mengutip manplawyers.co, Selasa (8/9/2020), peringkat kemudahan berbisnis membandingkan ekonomi satu sama lain.
Sedangkan, kemudahan menjalankan bisnis merupakan skor tolok ukur ekonomi yang berkaitan dengan praktik terbaik regulasi dan menunjukkan kedekatan dengan kinerja regulasi terbaik pada setiap indikator EoDB.
Baca Juga: Selasa (8/9/2020), Kasus Positif Covid-19 Bertambah 3.046, Sembuh 2.306, Meninggal Dunia 100
Selain itu, skor kemudahan berbisnis menunjukkan seberapa besar lingkungan regulasi bagi wirausahawan lokal dalam perekonomian telah berubah dari waktu ke waktu secara absolut.
Adapun peringkat kemudahan berbisnis hanya menunjukkan seberapa besar lingkungan regulasi telah berubah relatif dengan ekonomi lain.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia mengatakan Indeks Kemudahan Berusaha bergantung pada aspek regulasi, tenaga kerja, dan tanah.
Selain EoDB, alasan investor asing enggan menanamkan modal di Indonesia adalah Indeks Persepsi Korupsi.
"Persepsi korupsi di negara kita juga masih terlalu tinggi. Kita di urutan 85 dari 180 negara," katanya, Selasa (8/9/2020).
Bahlil berpandangan korupsi dan pungutan liar (pungli) harus diberantas untuk meningkatkan data saing bangsa. Ia menambahkan bahwa persepsi korupsi yang tinggi berbanding lurus dengan ICOR Indonesia yang tinggi.
Incremental Capital Output Ratio (ICOR) merupakan parameter ekonomi makro yang menggambarkan rasio investasi modal (capital) terhadap hasil yang diperoleh (output).
"Saya pikir sudah harus kita hentikan cara-cara ini karena pasti akan membuat nilai ICOR kita juga yang tidak terlalu positif," jelasnya.
Untuk itu, Bahlil memandang penting Omnibus Law Cipta Kerja untuk mencegah praktik korupsi di Indonesia. Omnibus Law Cipta Kerja bertujuan membenahi birokrasi yang memberi peluang terjadinya korupsi.
Saat ini, hanya kepala daerah yang berhak mengeluarkan izin lokasi tanpa kepastian jangka waktu. Jika undang-undang Omnibus Law disahkan, daerah tetap bisa mengeluarkan izin lokasi. Namun, jika melebihi batas waktu yang ditentukan oleh Presiden, izin akan ditarik ke pusat.
"Kenapa ini ditarik Presiden? itu kan pasal 163. Pasal 164-nya, Presiden mengembalikan izin itu kepada daerah, kementerian dan lembaga dengan PP agar mereka dikembalikan tapi disertai dengan norma standar NSPK (Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria)," tegas Bahlil.
Bahlil memahami bahwa menghapus budaya korupsi dan pungli memang tak mudah dan butuh waktu lama karena sudah berakar sejak zaman penjajahan Belanda.
"Sejak ada VOC, barang ini [pungli] sudah ada," ujarnya.
Meski demikian, Omnibus Law Cipta Kerja tak bisa serta merta menghapuskan pungli. Setidaknya bisa memperkecil kesempatan untuk melakukan pungli.
"Kalau menghapuskan pungli, kita butuh mendalam lagi. Tapi minimal dengan undang-undang [Omnibus Law Cipta Kerja] memperkecil ruang itu," tandas Bahlil.
"Kita punya tugas dengan memperkecil ruang ini. Maksimal kita bisa menghilangkan. Untuk menghilangkan memang harus melalui regulasi," imbuh Bahlil. (Al-Hanaan)
Foto: Deposit Photos
Comments