Indonesia menghentikan ekspor bijih nikel dan mineral lain ke Eropa per 1 Januari 2020. Penghentian ini dilakukan dua tahun lebih cepat dari yang diperkirakan. Hal ini disampaikan Presiden Joko Widodo yang dirilis oleh Sekretariat Kabinet Republik Indonesia.
“Demi kepentingan nasional, apa pun protes yang dilancarkan negara lain akan kita hadapi,” kata Jokowi.
Menurut Joko Widodo, Indonesia sebaiknya mengurangi ekspor bahan mentah dan mengolah bahan jadi untuk menciptakan nilai lebih dan lapangan kerja dalam negeri.
Sebagai negara penghasil bijih nikel terbesar di dunia, Indonesia menjadi eksporter utama baja nirkarat (stainless steel) sejak Jokowi mengadopsi kebijakan ekspor yang ketat terhadap bijih nikel. Hal ini memicu peningkatan investasi asing di industri smelter terutama investasi dari Tiongkok.
Kebijakan Jokowi ini membuahkan hasil. Produksi baja nirkarat meningkat. Bukti ini diperkuat oleh data Kementrian Perindustrian (Kemenperin). Melansir kemenperin.go.id, ekspor stainless steel slab meningkat hampir tiga kali lipat dan stainless steel HRC (hot rolled coil) meningkat hampir dua kali lipat.
Secara rinci, ekspor stainless steel slab mencapai 459.502 ton dalam kurun Januari – September 2018. Sedangkan ekspor stainless steel HRC meningkat dari 324.108 ton menjadi 877.990 ton. Ini diperkirakan akan terus meningkat.
Cadangan nikel di Indonesia sendiri masuk lima besar dunia. databoks.katadata.co.id menyatakan 32,7% cadanagn nikel dunia ada di Indonesia. Indonesia menempati urutan pertama negara dengan cadangan bijih nikel terbesar dunia, diikuti oleh Australia dengan cadangan bijih nikel sebesar 21,5%, dan Brazil dengan cadangan bijih nikel 12,4%.
Meski cadangan bijih nikel Indonesia terbesar dunia, cadangan nikel terus menipis. Inilah yang menyebabkan pemerintah Indonesia menghentikan ekspor bijih nikel. Terlebih Indonesia akan membangun smelter sendiri.
Dalam siaran pers nomor 549.Pers/04/SJI/2019 tanggal 2 September 2019, Kementerian ESDM menyatakan cadangan untuk komoditas nikel nasional Indonesia sebesar 698 juta ton. Jika tidak ditemukan cadangan baru, jumlah ini hanya mempu menjamin splay bijih nikel bagi fasilitas pemurnian selama 7,3 tahun. Sedangkan cadangan terkira sebesar 2,8 miliar ton memerlukan kemudahan akses, izin lingkungan, dan harga untuk meningkatkan cadangan teknis menjadi terbukti. Tujuannya agar dapat memenui kebutuhan fasilitas pemurnian selama 42,67 tahun.
Agar cadangan dapat memenuhi keekonomian smelter, pemerintah melakukan embargo ekspor bijih nikel demi kepentingan nasional. Terlebih bijih nikel kadar rendah (limonite) Indonesia terbaik di dunia. Bijih nikel kadar rendah inilah bahan baku produksi baterai lithium ion.
Jokowi saat ini mendorong pengembangan kendaraan listrik dan fasilitas produksi baterai yang akan menggunakan suplai bijih nikel dalam negeri. Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan mulai berlaku pada 12 Agustus 2019.
Sebelum penghentian ekspor bijih nikel, Indonesia dan Uni Eropa menanda tangani Perjanjian Kemitraan Komprehensif UE-Indonesia 2016 (Comprehensive Economic Partnership Agreement in 2016). Perjanjian itu berjalan tak mulus karena penghentian ekspor bijih nikel ke Eropa.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Bambang Gatot Ariyono, mengatakan Indonesia akan tetap melarang ekspor bijih nikel, tetapi isu dengan Uni Eropa akan dibicarakan nanti.
“Kebijakan itu tidak merugikan Uni Eropa sama sekali. Tidak ada pelarangan pada ekspor bahan yang membuat baja seperti besi kasar nikel (nickel pig iron) dan feronikel,” ujarnya.
Asosiasi Baja Eropa, Eurofer mengatakan pada Al Jazeera via email bahwa pelarangan itu menekan harga di beberapa tempat dan menggelembungkan harga di tempat lain. Eurofer menganggap Indonesia menghentikan suplai bijih nikel untuk menaikkan harga sementara produsen dalam negeri Indonesia menurunkan harga di bawah harga pasar.
“Karena nikel [dalam berbagai bentuknya] menyusun sebagian besar komposisi harga baja nirkarat, ini memberikan eksportir baja nirkarat keuntungan yang signifikan dan tak adil – yang mana Indonesia membangun kapasistas besar – agar mampu masuk ke pasar ekspor,” ungkap Charles de Lusignan, juru bicara Eurofer. (Al-Hanaan)
Comments