Cina berhasil mengendalikan Covid-19 dan ekonomi kembali dibuka. Cina memang selangkah lebih maju dibanding negara lain. Ukuran ekonomi Cina yang besar akan berpengaruh dalam menghidupkan ekonomi dunia. Dengan ekonomi global yang berkecamuk karena pandemi Covid-19, Cina berada di posisi unik untuk memimpin pemulihan.
Layaknya negara lain yang terpukul oleh Covid-19, ekonomi Cina jatuh selama pandemi. Melansir china-briefing.com pada Jumat (1/5/2020), produk domestik bruto (PDB) Cina berkontraksi sebesar 6,8% dibandingkan tahun lalu selama periode Januari-Maret, termasuk penurunan drastis sebesar 39,2% di provinsi Hubei, episentrum pandemi.
Sementara 1,2% secara signifikan rendah daripada rerata 6% pertumbuhan, kebanyakan ekonom mengharapkan Cina sebelum pandemi Corona memukul, bahwa Cina akan berhasil mencapai pertumbuhan positif merupakan sebuah penegasan akan kekuatannya. Dan jika proyeksi IMF benar, Cina bisa mengejar ketertinggalan pada 2021.
Sebaliknya, ekonom mempredikasi kebanyakan ekonomi negara kaya berkontraksi di 2020. Meskipun AS sudah menggelontorkan banyak uang untuk menstabilkan ekonomi misalnya melalui paket pembiayaan US$2,3 triliun, IMF memproyeksikan AS berkontraksi sebesar 5,9% di 2020 dan tumbuh sebesar 4,7% di 2021. Hampir sama, IMF mengharapkan Euro Area menurun sebesar 7,5% di 2020 sebelum pulih kembali sebesar 4,7% tahun depan.
IMF memprediksi India untuk mengakhiri tahun dengan pertumbuhan positif dengan proyeksi peningkatan sebesar 1,9%. IMF bahkan memprediksi ASEAN-5 (Malaysia, Indonesia, Filipina, Muangthai, Vietnam) akan berkontraksi sebesar 0,6%.
Jika stimulus ekonomi Cina disahkan, ekonomi negara akan berlipat. Meski kontraksi terjadi dalam ekonomi Cina selama Q1 2020, IMF masih memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sebesar 2,1% untuk setahun. Pada 2021, IMF memprediksikan ekonomi Cina akan tumbuh sebesar 9,2%.
Inilah yang akan berubah setelah pandemi Covid-19. Ekonom UI, Muhammad Chatib Basri berpendapat Indonesia harus siapkan iklim investasi agar mampu bertahan setelah pandemi.
“Mungkin yang berubah setelah ini adalah pola dari global supply chain. Semua terkonsentrasi di Cina sebagai sumber basis produksi. Ketika Cina kena, kolaps semuanya. Maka yang terjadi setelah ini, orang akan memindahkan basis produksinya. Bukan keluar semua dari Cina, tapi diversifikasi ke banyak negara agar jangan tergantung pada satu negara saja,” terang Chatib ketika wawancara virtual dengan katadata.co.id (10/5/2020).
Muhammad Chatib Basri menceritakan pengalamannya ketika menjadi kepala Badan Koordinasi Penananman Modal (BKPM). Pada 2011, ada banjir di Muangthai dan basis produksi otomotif Toyota untuk Asia Tenggara terganggu. Chatib meyakinkan Toyota untuk membuat basis produksi di Indonesia dan akhirnya Daihatsu meletakkan valuation center di Indonesia.
“Mereka itu bekerja di dalam production network, komponennya macam-macam dari banyak negara. Ketika basisnya kena, tidak bisa bikin barang di sini maupun di tempat lain. Jadi tidak boleh tergantung di satu negara karena ada ancaman natural disaster, pandemi.”
“Karena investasi akan mengalir ke banyak negara di luar Cina. Tentunya, negara mana yang dapat, adalah negara yang bisa memiliki iklim investasi paling baik,” sambungnya.
Pembangunan berkelanjutan sangat bergantung pada kualitas dan kuantitas investasi. Sementara investasi langsung asing (Foreign Direct Investment/FDI) adalah sumber modal eksternal penting untuk kebanyakan negara berkembang.
Dalam laporan Development Co-Operation Report 2014, OECD menyatakan ada lima dimensi kebijakan investasi yang merupakan kunci bagi pembangunan berkelanjutan: 1) menciptakan kapasitas legal dan regulatif untuk mengatur aliran investasi; 2) mempromosikan dan memfasilitasi investasi; 3) menarik investasi swasta di infrastruktur; 4) menguatkan hubungan antara investasi dan perdagangan; dan 5) mempromosikan perilaku bisnis bertanggung jawab oleh perusahaan multinasional.
Pembuat kebijakan di negara tuan rumah harus menciptkan iklim yang kondusif bagi investasi agar menghasikan keuntungan maksimum melalui penyerapan tenaga kerja, transfer teknologi, daya saing, dan pertumbuhan perusahaan domestik dan industri. Iklim yang kondusif inilah faktor penarik bagi investor agar mau menanamkan modalnya di negara berkembang. (Al-Hanaan)
Image by Denny Franzkowiak fromPixabay.
Comments