Dalam wawancara virtual katadata.co.id (9/5/2020) bersama mantan Menteri Keuangan, Muhammad Chatib Basri, Chatib Basri mengatakan krisis Covid-19 ini berbeda dari krisis ekonomi sebelumnya.
Pandemi Covid-19 belum jelas kapan berlalu dan membuat berbagai sektor terpuruk, terutama ekonomi. Dengan demikian, krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 memerlukan penanganan berbeda dan mempengaruhi perilaku ekonomi, usaha, dan bisnis.
Ini pulalah yang digaungkan Jokowi untuk berdamai dengan pandemi Covid-19. Yaitu tetap produktif dengan menyesuaikan kehidupan dengan kondisi pandemi. Ini adalah hidup normal dengan cara baru (new normal).
Muhammad Chatib Basri menyebutkan ada dua ciri khas krisis ekonomi akibat wabah Covid-19. Pertama, wabah menyebabkan supply shock pada aktivitas produksi. Orang kehilangan pendapatan lalu menyebabkan demand shock.
Pada dasarnya, aktivitas ekonomi adalah adanya transaksi alias pasar. Pasar adalah tempat di mana penjual dan pembeli bertemu. Adanya pembatasan sosial mengurangi intensitas transaksi. Hal esensial yang ada dalam ekonomi justru hilang.
Krisis ekonomi sebelumnya tak memberlakukan pembatasan sosial. Inilah uniknya krisis akibat Covid-19. Pembatasan sosial dilakukan agar virus Corona tak menyebar namun pembatasan sosial itu juga mematikan ekonomi. Tak semua pekerjaan bisa dibawa ke rumah. Ada pekerjaan yang memang membutuhkan kehadiran fisik. Untuk itu pemulihan ekonomi juga membutuhkan waktu. Berakhirnya wabah Covid-19 tidak serta merta memulihkan ekonomi.
Ada gelombang kedua Covid-19 (second wave), yang mana penyintas Covid-19 bisa terinfeksi lagi. Harus ada vaksin hingga kasus Covid-19 benar-benar tuntas. Itu akan memperburuk ekonomi karena pembatasan sosial makin panjang. Pandemi Covid-19 adalah variabel yang tidak bisa dikontrol. Jadi tidak tahu kapan ekonomi akan pulih.
“Jika pandemi Covid-19 selesai bulan Juni, maka data di Q2 mungkin akan parah. Q3 ada perbaikan dan Q4 sudah normal. Jadi, pertumbuhan ekonomi tahun ini 2,3-2,5%,” kata Chatib Basri.
“Variabel utamanya yaitu pandemi, tidak bisa dikontrol. Kecuali, kita mau bicara dalam skenario,” dia menambahkan.
“Jadi yang bisa dilakukan, pertama, alokasi uang untuk sektor kesehatan. Kedua, orang tinggal di rumah ini diberikan bantuan sosial. Ketiga, menolong perusahaan agar tidak tutup. Hanya itu saja. Nanti situasinya setelah normal, baru kita bisa bicara mengenai resesi tahun 2008 dan 1998,” jelasnya.
Senada dengan ucapan Muhammad Chatib Basri, pemulihan ekonomi bisa memakan waktu hingga setahun bahkan lebih.
Melansir The Guardian, IMF meramal ekonomi AS akan menyusut sekitar 6% tahun ini dibandingkan dengan kontraksi sekitar 7% di Zona Euro dan 5% di Jepang. Para peramal ekonomi swasta meramal penurunan kuartal kedua tahunan di AS sebesar 40% dengan pertumbuhan di kuartal ketiga.
“Kontraksi ekonomi terjadi ketika aktivitas ekonomi menurun seperti PDB riil dan produksi industri. Fase kontraksi ini terjadi setelah melalui fase puncak, lalu mencapai titik terendah kemudian ekonomi kembali pulih dan berkembang,” ujar Michael J Boskin, profesor ekonomi di Universitas Stanford, seperti dilansir dari The Guardian (28/4/2020).
“Jika pemerintah tidak menghabiskan triliunan dolar untuk bisnis, tenaga kerja, dan penghasilan, kehancuran akan semakin parah. Namun, pengangguran di AS tetap tertinggi selama lebih dari 70 tahun,” tambahnya.
Kontraksi ekonomi disebabkan kebijakan moneter yang ketat, kebijakan fiskal kontraktif, peningkatan upah riil dan biaya produksi, penurunan ekonomi global, dan penurunan harga aset.
“Risiko menyeimbangkan kesehatan dan ekonomi agar tidak jatuh ke titik nadir bisa dilakukan jika vaksin tersedia atau populasi mencapai imunitas kelompok (herd immunity),” Boskin menjelaskan.
Untuk itu warga diwajibkan mengikuti protokol kesehatan. Pembatasan sosial, pemakaian masker di ruang publik, dan cuci tangan secara teratur berperan penting dalam penanganan Covid-19. (Al-Hanaan)
Foto oleh Anna Shvets dari Pexels.
Comments