top of page

Cocos Island, Darah Daging Indonesia yang Terlupakan




Mungkin banyak dari kita yang tidak pernah mendengar mengenai Cocos Island. Meski demikian, ini merupakan satu di antara tempat penting bagi bangsa Indonesia yang mungkin terlupakan.


Jika berbicara mengenai bangsa Indonesia, kita pasti tahu bagaimana diaspora Indonesia bertebaran di Suriname, Sri Lanka, Afrika Selatan, Thailand, Vietnam, atau Belanda. Meski demikian, Cocos Island juga merupakan darah daging Indonesia.


Cocos Island adalah kepulauan kecil yang terdiri dari 27 pulau koral dan 2 pulau atol, terletak sekitar 1000 km dari Jakarta, yakni sebelah selatan Pulau Jawa di Samudra Hindia, dan 2800 km dari Perth, Australia.


Penduduknya sekitar 600-an orang. Cocos Islands masuk dalam teritori negara Australia sejak 1955 setelah sebelumnya dikuasai Inggris, dan Sri Lanka.


Hal terunik dari pulau ini adalah 90 persen penduduknya adalah Muslim dan beretnis Jawa dan Melayu. Mereka merupakan keturunan para pekerja yang didatangkan oleh Inggris dari Jawa pada abda ke-19 untuk bekerja di perkebunan di sana.


Konon, para keturunan Jawa ini masih memegang budaya Jawanya, bahkan di antara golongan tuanya, masih ada yang masih bisa berbahasa Jawa. Bahkan, di dalam logo kepulauan tersebut, terdapat tulisan berbahasa Indonesia “Maju Pulau Kita”.


Tidak hanya itu, wayang kulit pun diadopsi menjadi gambar di perangko nasional Australia. Dulunya, wayang-wayang yang dibuat di Cocos itu mereka buat dari kulit hiu kering, sedangkan dalang terakhir mereka Mbah Itjang meninggal pada tahun 1949.


Pemerintah Australia secara tegas mewajibkan penggunaan Bahasa Inggris di sekolah-sekolah di pulau tersebut, bahkan konon anak-anak yang masih menggunakan bahasa asli mereka, dulunya dihukum.


Kedatangan mereka, tentu saja menjadi obat rindu etnis Jawa atau Melayu disana yang begitu jauh terpisah dari mana-mana, dan jarang bertemu orang dari luar wilayah mereka. Kita sering mendengar dan mempelajari Suriname, tentu saja, dimana banyak keturunan Jawa yang ada di sana. (Arie Nugroho)



12 views0 comments

Comments


bottom of page