Corona Virus Disease 2019 atau Covid-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Corona. Sampai saat ini, vaksin untuk menyembuhkan virus ini masih belum tersedia.
Seperti dinukil livescience, Minggu (10/5/2020), Direktur The National Institute of Allergy and Infectious Deseases, Anthony Fauci, mengungkapkan setidaknya butuh waktu antara 12 hingga 18 bulan untuk mengembangkan dan menguji vaksin Covid-19.
Dalam jurnal ilmiah yang berjudul “Use of Convalescent Whole Blood or Plasma Collected from Patients Recovered from Ebola Virus Disease for Transfusion, as an Empirical Treatment during Outbreaks”, WHO merekomendasikan Terapi Plasma Konvelens (TPK) pada September 2014 untuk penderita Ebola.
Terapi ini dapat digunakan sebagai alternatif untuk menyembuhkan virus Corona. Dokter dan dosen Universitas Kristen Maranatha, Theresia Monica Rahardjo, menyatakan, Terapi Plasma Konvelens (TPK) adalah pemberian plasma donor dari orang yang sembuh dari COVID-19 kepada penderita penyakit COVID-19.
TPK merupakan langkah sementara untuk menangani pasien Covid-19 mengingat vaksin Covid-19 belum diciptakan. Covid-19 sendiri merupakan virus baru yang penyebarannya jauh lebih cepat dibanding virus Corona lainnya seperti SARS dan MERS.
Terapi plasma bukanlah barang baru. Terapi ini sudah digunakan sekitar tahun 1890-an. Pada mulanya, terapi plasma ini digunakan untuk merawat pasien difteri. Sejak itu terapi plasma digunakan untuk merawat berbagai penyakit seperti cacar dan campak. Ketika pandemik SARS dan MERS, TPK juga dijadikan solusi sementara sebelum diciptakan vaksin.
Pada dasarnya, TPK tidak menyembuhkan penderita Covid-19, tetapi memberikan suntikan antibodi agar kebal terhadap virus.
“Ini adalah teknik lama,” kata Scott Koepsell, direktur medis di Pusat Medis Universitas Nebraska yang pernah mengumpulkan plasma dari penyintas Ebola.
“Ini adalah langkah baik namun mempunyai variabilitas dan keterbatasan,” tambah Scott Koepsell.
Di balik kelebihan pasti ada kekurangan. Sama halnya dengan terapi plasma konvalesen.
Penyintas infeksi virus kemungkinan mempunyai campuran substansi imunitas yang berbeda di plasma darahnya. Jadi, setiap pasien yang mendapat transfusi plasma harus mendapat perawatan yang berbeda.
Dengan demikian, terapi plasma bisa efektif, bisa juga tidak tergantung pada plasma yang ditransfusikan. Hanya penyintas yang mempunyai antibodi tinggi saja yang bisa menjadi donor. Selain efektivitas, ada efek samping serius yang bisa menyebabkan alergi dan masalah paru-paru.
Koepsell merawat pasien Ebola di Amerika Serikat dengan plasma konvalesen selama wabah pada 2014 dan 2015. Saat menangani Ebola, plasma konvalesen mampu mencegah pendarahan yang disebabkan virus Ebola.
Kelebihannya, plasma konvalesen bisa didapat dari penyintas virus setelah ia sembuh. Jadi, ketersediaan selalu ada meski bersifat cocok-cocokan terhadap pasien.
The Plasma Alliance
The Plasma Alliance yang berpusat di Amerika Serikat merupakan lembaga yang fokus mengumpulkan dan meneliti plasma. Lembaga ini ingin membuat terapi baru yang dinamai polyclonal hyperimmune globulin (H-Ig).
Proses dilakukan dengan cara mengumpulkan plasma dari berbagai donor. Lalu, antibodi dikonsentrasikan dalam bentuk cair. Cairan antibodi inilah yang digunakan untuk menciptakan pengobatan untuk melawan virus. Terapi ini masih harus melalui uji klinis sebelum disetujui secara formal untuk menangani pasien Covid-19.
Harapannya, the Plasma Alliance ini tersedia diakses dalam bentuk web dan media sosial agar mdah menjangkau calon donor plasma. Calon donor bisa memberikan informasi mengenai pengobatan yang dijalani, alergi, dan kondisi medis lain.
Jika mereka adalah donor yang tepat, calon donor akan mendapat informasi di mana mereka bisa mendonorkan plasmanya. Perekrutan ini akan dilakukan di Amerika Serikat dan akan merambah ke Eropa nanti. Pastinya proyek ini tak jauh dari bos Microsoft di mana The Bill and Melinda Gates Foundation adalah penasihat proyek ini. (Al-Hanaan)
Comments