Para buruh melakukan aksi mogok kerja massal mulai Selasa (6/10/2020) hingga Kamis (8/10/2020) sebagai wujud penolakan UU Ciptaker. Namun, aksi mogok massal itu tak seluruhnya digubris oleh buruh dan pengusaha. Bagi pengusaha, aksi mogok massal hanya merugikan kedua belah pihak.
Menanggapi hal itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI), Benny Soetrisno mengatakan pegawainya tak melakukan mogok massal dan tetap bekerja seperti biasa.
Ketua Dewan Penasehat Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) itu menegaskan buruh lain di perusahaan anggotanya juga tak ada yang mengikuti aksi mogok massal.
"Semua anggota sama, semua di tekstil sama, apalagi untuk ekspor. Kan untuk ekspor limit waktu dibatasi betul. Dampaknya bisa didenda dari si pembeli, kan ada tulisannya the latest shipment date. Kalau lewat latest pasti kena denda. Bahkan cancel. Jadi sangat merugikan," ungkap Benny, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan.
Sebanyak dua juta buruh melakukan aksi mogok massal pada Selasa (6/10/2020) setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesakan RUU Ciptaker melalui Sidang Paripurna.
Dalam aksi mogok massal itu, buruh menuntut untuk tetap ada Upah Minimum Kota (UMK) tanpa syarat, tidak dihapusnya Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSK), tidak berkurangnya nilai pesangon, dan tak ada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau karyawan kontrak seumur hidup.
Selain itu, buruh juga menuntut tak ada alih daya (outsourcing) seumur hidup, waktu kerja tidak eksploitatif, cuti dan hak upah atas cuti tetap ada, dan jaminan kesehatan dan pensiun bagi karyawan kontrak dan karyawan alih daya.
"Mogok nasional ini dilakukan sesuai dengan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU Nomor 21 Tahun 2000 khususnya Pasal 4 yang menyebutkan, fungsi serikat pekerja salah satunya adalah merencanakan dan melaksanakan pemogokan," tandas Benny. (Al-Hanaan)
Foto: Tubas Media
Kommentare