top of page
Writer's pictureMyCity News

Dua Alasan Kecerdasan Buatan Tak Akan Ambil Alih Pekerjaan Manusia



Akankah kecerdasan buatan mempengaruhi bagaimana dan di mana kita bekerja? Seberapa jauh kecerdasan buatan secara fundamental membentuk perilaku manusia?


Lebih dari sepuluh tahun lalu, banyak makalah akdemik, laporan konsultansi, dan artikel berita mengenai dampak kecerdasan buatan – menciptakan visi utopia dan distopia tentang tempat kerja masa depan.


Dampak kecerdasan buatan pada pekerjaan tidak deterministik. Artinya, itu tergantung pada rentang masalah, termasuk tempat, jenjang pendidikan, gender, dan yang terpenting, kebijakan pemerintah dan strategi yang tepat,” ujar Judith Clifton, seperti dinukil dari socialeurope.eu (14/5/2020).


“Cara yang pasti untuk meramal dampak teknologi kecerdasan buatan adalah determinisme teknologi,” Judith menambahkan.


Sarjana Universitas Oxfors, Frey dan Osborne memprediksikan bahwa lebih dari 47% pekerjaan di AS berisiko diganti dengan komputer di awal 2030an. Sementara kajian yang dilakukan oleh Arntz dkk untuk OECD menegaskan hanya 9% pekerjaan di OECD yang bisa diotomasikan.


Secara umum, pekerjaan dikerjakan oleh pekerja yang kurang terdidik lebih terdampak oleh kecerdasan batan dan otomasi dibandingkan dengan pekerja yang terdidik.


Pekerjaan yang membutuhkan sentuhan manusia seperti babysitter, pengasuh, perawat, perawat manula (caretaker), psikolog, dan semacamnya tak mungkin digantikan oleh robot.

Budaya industri dan praktik kerja turut membentuk dampak kecerdasan buatan. Dampak kecerdasan buatan tidak homogen. Perbedaan budaya membuat teknologi yang sama dioperasikan secara berbeda di lingkungan yang beragam.

Konsekuensi kecerdasan buatan bergantung pada kebijakan dan perusahaan. Pemerintah bisa mendukung kecerdasan buatan yang meningkatkan peluang kerja, alih-alih mengurangi lapangan kerja. Untuk itu pemerintah harus membuat kebijakan sosial tekait kecerdasan buatan, bukan sekadar kebijakan terkait keuntungan ekonomi.


Perusahaan juga bisa menggunakan kecerdasan buatan untuk mendukung proses perekrutan. Ini juga problematis mengingat kecerdasan buatan bisa melakukan screening pada CV, wajah, suara, dan jenis kelamin. Kecerdasan buatan bisa saja melewatkan kandidat terbaik karena bias gender, etnis, dan kelas.


Konsekuensi penggunaan teknologi merefleksikan pilihan yang dibuat di level organisasi, politik, dan budaya. Masa depan kecerdasan buatan tak hanya ditentukan oleh pakar IT tetapi juga ilmuwan sosial, pengacara, politikus, dan pemangku kepentingan agar turut serta terlibat dalam membentuk perkembangan dan penggunaan kecerdasan buatan.


Dalam situs World Economic Forum, James Bessen, ekonom Universitas Boston menguji klaim kecerdasan buatan akan menggantikan manusia dengan cara mengeksplorasi antara teknologi dan mata pencaharian. Dia memberikan dua kesimpulan.


“Pertama, mata pencaharian yang menggunakan komputer tumbuh pesat dan tak ada tanda bahwa teknologi menyebabkan pengangguran besar-besaran maupun polarisasi. Kedua, alih-alih kehilangan pekerjaan, ada permintaan keterampilan baru. Singkatnya, teknologi tidak mengambil lapangan kerja, justru menyediakan pekerjaan bagi mereka yang terampil,” terang Bessen.


Jika melihat sejarah revolusi industri, angkatan kerja manufaktur tumbuh kurang dari 12% di 1820 hingga 26% di 1920. Jumlah kasir meningkat sejak diperkenalkannya barcode scanner pada tahun 1980an. Ada tidaknya otomasi sepertinya tidak terlalu berdampak pada ketenagakerjaan.


Namun, ini juga bukan hal mutlak. Kecerdasan buatan belum sepenuhnya kita adopsi dalam kehidupan sehari-hari. Kecerdasan buatan masih merupakan enigma, suatu teknologi yang baru muncul dan belum banyak dipahami.


“Otomasi di abad ke-19, perusahaan tekstil menyerap banyak tenaga kerja karena permintaan pakaian tinggi. Namun, ketika permintaan mulai jenuh dan teknologi semakin maju, permintaan lapangan kerja stagnan dan perlahan menurun,” Bessen memungkasi. (Al-Hanaan)


Foto oleh Anamul Rezwan.

3 views0 comments

Comments


bottom of page