Sejak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan wabah Corona sebagai pandemi global pada bulan Maret lalu, korban meninggal akibat terinfeksi virus Covid-19 terus bertambah. Menurut data worldofmeters, total ada 4.168.427 jiwa terkonfirmasi terjangkit virus Covid-19. 1.452.626 jiwa dinyatakan sembuh dan 285.445 orang meninggal dunia. Sementara di Indonesia, ada 1,17 juta jiwa terjangkit virus ini. Adapun, 1,45 juta jiwa dinyatakan sembuh dan 285 ribu orang meninggal dunia. Lantas, bagaimana cara virus Covid-19 menyerang tubuh? Gejala umum dari COVID-19 ini termasuk demam, batuk kering, dan sesak napas. Namun, tampaknya ada informasi yang kurang tentang kesehatan jangka panjang dari orang-orang yang sudah pulih dari COVID-19. Seperti dinukil Centers for Disease Control and Prevention (CDC), Selasa (12/5/2020), terdapat efek jangka panjang dari infeksi virus corona SARS-CoV-2, penyebab dari COVID-19. Sekitar 80 persen kasus COVID-19 yang dilaporkan di Cina tergolong ringan. Shu-Yuan Xiao, profesor patologi di Fakultas Kedokteran Universitas Chicago, menekankan bahwa sebagian besar pasien yang memiliki penyakit ringan bisa segera pulih. Pasien yang memiliki penyakit yang lebih parah tetapi sembuh tanpa harus memakai ventilator juga seharusnya bebas dari efek samping jangka panjang. Sementara untuk 16-20 persen pasien bergejala yang akhirnya membutuhkan perawatan ICU, efek jangka panjangnya sulit untuk diprediksi. Pasien yang masuk ke unit perawatan intensif dan membutuhkan ventilator cenderung mengalami kerusakan paru-paru dan mengembangkan sindrom gangguan pernapasan akut. Mereka biasanya memiliki kondisi paru-paru yang parah di mana cairan terkumpul di kantung udara paru-paru. Jika dilihat dari pengalaman SARS dan MERS, beberapa pasien dapat berkembang menjadi fibrosis paru-paru, tetapi hal ini perlu dikaji lebih lanjut. Menurut penelitian yang diterbitkan dalam Journal of American Medical Association, diterbitkan pada bulan Februari lalu yang meneliti 138 pasien di Wuhan, Cina, 10 persen dari mereka yang dirawat di ICU akhirnya beralih ke mesin Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO), yang berfungsi mengeluarkan darah dari tubuh, mengoksidasi, dan lalu mengembalikannya ke tubuh. Selain potensi merusak paru-paru, data awal dari Tiongkok juga menunjukkan bahwa pasien yang tertular penyakit ini juga berisiko terhadap masalah jantung. Studi yang dilakukan di Wuhan, menemukan bahwa 20 persen pasien yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19 mengalami kerusakan jantung. Ini juga merupakan kondisi yang dikaitkan dengan risiko kematian di rumah sakit yang lebih tinggi. Tidak jelas apakah masalah-masalah jantung itu disebabkan oleh virus itu sendiri, karena penyakit parah berbagai jenis dapat memicu masalah jantung. Dr Robert Bonow, profesor kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Northwestern mengatakan, seseorang yang sekarat karena pneumonia pada akhirnya akan meninggal karena jantungnya berhenti. Sebab, mereka tidak bisa mendapatkan cukup oksigen ke dalam tubuh sehingga mengganggu kerja organ-organ tubuh dan kemudian menyebabkan kematian. (Arie Nugroho)
top of page
bottom of page
Comentarios