Realisasi penerimaan perpajakan hingga 30 Arpil 2020 mencapai Rp434,3 triliun atau tumbuh negatif sebesar 0,9 persen. Itu merupakan dampak pandemi Covid-19 di Indonesia.
"Kegiatan ekonomi berkurang, pajak yang terkumpul juga berkurang. Pada bulan ini juga kami melihat, ada kemungkinan bulan ke depan akan ada pelemahan lagi," kata Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara dalam keterangan pers daring di Jakarta, Rabu (19/5/2020).
Menanggapi situasi ini, Partner Tax Research & Training Services Danny Darussalam Tax Centre (DDTC), Bawono Kristiaji, menilai pandemi Covid-19 akan menentukan masa depan sektor perpajakan suatu negara. Menurutnya, wabah Covid-19 telah mengakibatkan kondisi perekonomian global berada di bawah bayang-bayang double economic shock, baik dari sisi penawaran maupun permintaan.
"Seberapa lama pandemi ini berlangsung dan seberapa dalam dampaknya bagi aktivitas sosial-ekonomi, akan menentukan masa depan sektor perpajakan di Indonesia," ujar Bawono.
Perlambatan ekonomi secara alamiah mengurangi bisnis pajak. Di sisi lain, belanja pajak (tax expenditure) sebagai wujud pajak yang bersifat regularend akan banyak digelontorkan.
Alhasil, rasio perpajakan (tax ratio) terjun bebas. Menurut data Wolrd Bank, rata-rata tax ratio dunia turun sekitar 1,5 persen pasca 2008. Hal ini diakibatkan penyusutan Produk Domestik Bruto (PDB).
Berkaca dari kasus itu, ada beberapa prediksi terkait sektor perpajakan:
1. Defisit Menuju Konsolidasi Fiskal.
Guna menghadapi krisis, pemerintah biasanya merilis kebijakan fiskal yang ekspansif dan mengakibatkan defisit anggaran. Kemudian, pemerintah akan menerapkan konsolidasi fiskal dengan tanda pengelolaan belanja yang prudent dan optimalisasi penerimaan pajak pusat maupun daerah.
2. Kebijakan Pajak di Sektor Pertambahan Nilai (PPN)
Kebijakan perpajakan di banyak negara pasca krisis 2009 lebih banyak berkaitan dengan sektor PPN, entah peningkatan tarif, perluasan basis, maupun pembenahan sistem teknologi informasi (TI) untuk menjamin kepatuhan.
pola yang sama kemungkinan besar akan terjadi pasca pandemi Covid-19. Sebab, dibandingkan dengan jenis pajak lainnya, PPN relatif lebih tahan guncangan. Karena itu, pembaharuan kebijakan PPN akan menjadi agenda penting pasca terjadinya pandemi.
3. Upaya Mengoreksi Penyebab Krisis
Pasca krisis, pemerintah pada umumnya akan mencari penyebab dan mengantisipasi faktor yang sekiranya bisa memicu risiko yang sama di kemudian hari. Bukan tidak mungkin, tutur Bawono, isu mengenai pajak lingkungan, instrumen fiskal dalam rangka pengendalian eksternalitas, dan redesain kebijakan untuk sektor kesehatan akan menjadi agenda di masa mendatang.
4. Volatilitas Regulasi dan Reformasi Pajak
Tekanan unuk menanggulangi defisit serta utang dan upaya menjaga stabilitas ekonomi akan mendorong berbagai peurubahan regulasi pajak. Urgensi reformasi pajak, baik yang bersifat komprehensif maupun parsial, akan meningkat tajam.
5. Kompetisi Pajak
Perubahan sistem pajak, gelontoran insentif, serta penurunan tarif baik PPh badan maupun tarif pajak atas kapital tetap akan terus meningkat dan menjadi favorit pembuat kebijakan. insentif pajak penelitian dan pengembangan (litbang) dan untuk tujuan penyerapan tenaga kerja akan menjadi menu andalan banyak negara. (Arie Nugroho)
댓글